Tujuan gowes kali ini adalah PPLH Seloliman dan Candi Jolotundo, di desa Seloliman, Trawas, Mojokerto. Bukan untuk masuk ke dalam area di dua tempat tersebut, melainkan pingin merasakan jalur untuk sampai kesana jika ditempuh dengan bersepeda. Untuk diketahui PPLH Seloliman adalah sebuah area yg berfungsi sebagai tempat penelitian lingkungan hidup sekaligus menjadi tempat wisata dengan obyek alam, terutama berbagai tumbuhan dan sarana mainan lainnya. Sedangkan Candi Jolotundo adalah sebuah candi atau bisa juga disebut patirtan, karena di depan sumber air yang mengalir terdapat kolam yang cukup luas, berisi ratusan ikan di dalamnya.
Gowes aku mulai dari rumah di Sidoarjo pagi sekitar jam 6 kurang, dah agak siang sebenarnya heheee. Seperti biasa jalur yang aku lewati adalah melalui Pilang – Tulangan – Krembung – Jasem. Jalur ini sudah sering aku lewati dan dibahas pada artikel-artikel sebelumnya.
Nah di daerah Jasem, kita akan masuk dalam jalan raya antara Mojosari – Kejapanan. Sebelum masuk kota Mojosari ada jalan yang berbelok ke kiri, dengan tanda ada papan penunjuk arah ke PPLH Seloliman. Aku mengikuti jalan ini. Jalan ini sekarang menjadi alternatif untuk menuju Seloliman. Kalau dulu, kita harus memutar melewati Ngoro Pasuruan. Ada beberapa ruas jalan yang berupa jalan cor yg masih baru kelihatannya. Di jalan cor inilah elevasi jalan sudah mulai menunjukkan adanya kenaikan ketinggian alias nanjak. Jangan khawatir, pemandangan di kiri kanan cukup menyegarkan…sawah hijau dan pepohonan.
Seperti biasa, kalau gowes sendirian, aku biasa berhenti istirahat di spot yg menarik utk sekalian mengambil foto. Yah, berhubung sendiri, kebanyakan jadinya foto sepeda atau selfie hehehe…
Di daerah Kutogirang lah jalan mulai nanjak dan nanjak. Sedikit cerita, tampaknya pas banget tutup tahun 2014 kemarin..pas aku gowes sendiri. Karena aku bisa mencoba mempraktekkan ilmu-ilmu dan masukan-masukan dari teman2 soal trik menghadapi jalan tanjakan. Di artikel sebelumnya yg membahas gowes ke Ledug, Tretes…akhirnya membuat aku sadar bahwa masih lebih enak menggunakan sepeda jenis hardtail daripada sepeda road utk jalur yang menanjak dan kadang offroad.
Masukan dari teman, saat menggenjot pedal di tanjakan, usahakan badan merunduk ke depan…aku coba praktekkan disini. Katanya sih, selain utk efek aerodinamis yakni mengurangi gesekan angin yang akan memperlambat laju sepeda…juga untuk memberikan downforce atau gaya tekan ke tanah…alias menahan posisi sepeda agar tidak njomplang ke belakang saat nanjak. Dan disinilah…aku merasakan manfaatnya…..aku bisa melibas tanjakan disini tanpa perlu harus menuntun. Bahwa kita turun dari sadel iya…sekedar utk menarik nafas….kalau terus-terusan nggenjot bisa putus nih nafas…hehheee…..
Akhirnya sampailah saya di pertigaan ini.
Pertigaan ini kalau kita belok kiri akan menjumpai lokasi PPLH Seloliman di kanan jalan dan jalan naik menuju Candi Jolotundo. Sedangkan kalau lurus terus adalah menuju ke Trawas melewati Tamiajeng. Otomatis saya belok ke kiri dulu menuju Candi Jolotundo, yang berjarak sekitar 1 km saja dari pertigaan itu.
Eitssss…tapi jangan salah, meski cuma 1 km…jalannya adalah full tanjakan. Dulu pernah waktu aku kesini sebelumnya dengan anak dan istri, jalannya masih sempit dan beraspal bopeng. Sekarang ini, kondisinya sudah diperlebar, mulus hotmix…di beberapa meter sebelum sampai di candi jalannya berupa cor. Agak sedikit licin pagi itu karena semalam sebelumnya hujan.
Aku nanjak di jalan ini dengan sesantai-santainya…toh gak ada temennya. Pas nanjak aku bisa nyoba teknik zig-zag utk mengurangi terjalnya jalan. Ini bisa dilakukan disini karena saat itu pas jalannya sepiiii.
Akhirnya sampailah aku di gerbang masuk kawasan Candi Jolotundo.
“Candi Jolotundo, atau yang kerap disebut Petirtan Jolotundo, Berada di lereng gunung Penanggungan, tepatnya di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas adalah salah satu peninggalan sejarah kerajaan sebelum Majapahit. Situs berupa candi dengan air yang mengalir dari berbagai sudut candi itu dibuat pada tahun 997 Masehi. Zaman Airlangga pada masa kejayaan Kerajaan Kahuripan.
Konon waktu itu, bangunan berukuran panjang 16,85 meter dengan lebar 13,52 meter dan tinggi 5,2 meter itu menjadi tempat pemandian para petinggi kerajaan. Dalam sejarah disebut, bangunan ini sengaja dibuat Raja Udayana untuk menyambut kelahiran putranya, Prabu Airlangga.
Jika dilihat lebih detail, bangunan yang terbuat dari batu andesit ini memang menampakkan keistimewaan. Pahatan relief yang halus, menandakan jika proses pembuatannya membutuhkan tenaga terampil. Juga bentuk bangunan yang terkesan tidak biasa dengan 52 pancuran airnya. Ke 52 pancuran itu memuntahkan air jernih yang tanpa henti meski musim kemarau tiba.
Ratusan ikan berbagai jenis, tumbuh liar di kolam bagian bawah. Meski demikian, tak satupun pengunjung yang berani mengambik ikan-ikan itu. Mereka percaya, mengambil ikan di lokasi ini akan berbuntut petaka. Lantaran itu, pengunjung lebih memilih memberi makan ikan dari pada mengambilnya.
Di sisi kiri dan kanan bangunan bagian atas, terdapat dua kolam kecil yang saat ini dimanfaatkan pengunjung untuk mandi dan berendam. Terpisah untuk pengunjung laki-laki dan perempuan, pengunjung tak diperbolehkan untuk mandi menggunakan shampoo dan sabun. Ini untuk menjaga kemurnian air kolam. Juga untuk menjaga ekosistem ikan-ikan yang berada di bagian bawah kolam pemandian.”…[Tritus Julan].
Puas menikmati Candi Jolotundo aku kembali meluncur turun ke arah pertigaan tadi. Disini aku memutuskan untuk belok kiri alias mencoba jalan yang menuju Trawas, karena perhitungan hari masih belum terlalu siang.
Jalur antara Seloliman hingga Tamiajeng, Trawas ternyata cukup “mengerikan” juga. Sepiiiiiii….berkelok-kelok, dengan kiri kanan jalan hutan di kaki gunung Penanggungan.
Tapi dibawa nyantai saja broo…kita nikmati saja keheningan alam yang sangat menyegarkan ini.
Jalan disini sudah full nanjak teruuuss….
Dan Alhamdulillah…aku bisa melewati setiap tanjakan dengan tanpa perlu nuntun sepeda lagi. Cukup hanya turun sepeda, tarik nafas, genjoot lagiiii…tampaknya tips dan trik-trik dari teman-teman sangat bermanfaat bagiku.
Hingga akhirnya aku sampai di daerah Tamiajeng. Daerah yg mungkin banyak dikenal oleh penghobi naik gunung sebagai tempat untuk memulai pendakian ke Gunung Penanggungan.
Dari persawahan daerah Tamiajeng di depan Hotel Puncak Ayana ini, jalannya luruuus…tapi nanjaaaaaak banget. Nanjaknya kayaknya dah keterlaluan disini….aku pun akhirnya menyerah di titik terakhir pertigaan Trawas. Terpaksa turun dari sadel dan nuntun….curam sekali broo…
Aku tiba di Trawas sekitar jam 12 siang. Tujuan berikutnya, ya pasti belok kanan balik ke arah Mojosari. Sebelum meluncur turun, aku sempatkan untuk mengisi perut di sebuah warung. Selepas makan, perjalanan tetap seru…karena sekarang kebalikan dari jalur berangkat tadi…sekarang waktunya meluncurrrrrrrr……sederas-derasnya, secepat-cepatnya.
Memasuki daerah Pungging, awan gelap yang sedari tadi mengintai akhirnya memuntahkan air derasnya…hujaaaan. Tidak ada pilihan lain selain tetap meneruskan perjalanan. Jadilah, aku berseluncuran turun di tengah hujan.
Dari Mojosari hingga Krembung hujan masih deras, baru sesaat sebelum memasuki Tulangan hujan reda. Dan sampai di rumah Sidoarjo kaosku akhirnya sudah sampai kering lagi…hahahaaa….
RESUME :
Rute jalur yang aku lalui dan total jarak 80,95 km
Total climbing 1357 meter..hehheee lumayan paraah. Jadi bagi anda yang suka tanjakan, tidak ada salahnya untuk mencoba jalur ke sini.
SALAM MANCAL….!!!