Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang

Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…”. Sepenggal lagu kebangsaan ini adalah lagu kesukaan saya, dan tidak pernah bermimpi bahwa suatu saat saya akan melakukan perjalanan seperti lagu itu, melihat sendiri pulau berjajar sambung menyambung menjadi satu kesatuan, dari ujung Barat sampai Timur.
Indeed it’s so BEAUTIFUL and that’s my HOME Indonesia. Dari Banda Aceh kami melipir ke Kota Sabang untuk berkunjung ke Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang, dengan naik fery dari pelabuhan Ulee Lheue (baca Ule Le) yang berangkat 2x sehari kecuali Senin & Jumat hanya 1x pada jam 14.00 WIB. Ada cerita seru saat pasukan Kunjung 2 Ujung hendak berangkat ke Kota Sabang.
Waktu itu Senin 20 Juni 2011, dan jadwal Fery pukul 14.00. Kami sudah tiba di Banda Aceh sejak pukul 7 pagi dari Medan. Tapi karena keasyikan melihat sisa-sisa keganasan Tsunami serta keenakan menikmati Soto Pojok dan Sate ayam di Warung Pojok Seulanga, kami lengah jadwal, hingga nyaris terlambat sampai di Pelabuhan Ulee Lheue.
Dari kejauhan tanda-tanda fery akan segera berangkat sudah terdengar. Begitu mobil masuk pelabuhan saya langsung melesat bak roket ke loket pembelian karcis, sementara trio Esjepes langsung menuju fery. Begitu tiba, pintu fery nyaris tertutup. Dengan sigap saya melompat ke Fery dan langsung menarik Ikyu, menyusul mba Indah dan Mas Iwan.
tugu kilometer nol indonesia sabang
Tengara Selamat Datang di Pelabuhan Ulee Lheue yang sempat saya foto. Persoalan belum selesai. Kami harus berpikir keras bagaimana agar bisa masuk ke dalam fery karena tidak mungkin berdiri di depan pintu geladak selama 2,5 jam dibawah terik matahari Banda Aceh yang sedang mengobral sinar panasnya dengan riang gembira.
Akhirnya memanjatlah kami, menerobos pagar buritan yang penuh minyak pelumas hitam pekat. Bertiga kami bisa mengatasinya dengan baik tapi tidak dengan Mas Iwan. Salut untuk Ikyu yang berusia 11 tahun dan bisa mengatasi situasi yang sangat sulit, karena masing-masing dari kami harus membawa 2 tas ransel yang cukup berat. Pfuuuh.
Namun persoalan belum juga selesai. Kami harus melompati motor-motor yang diparkir untuk sampai ke dalam fery. Ikyu sempat pucat pasi ketika kamera Bapaknya nyaris terjatuh dari ketinggian dua meter dilempar oleh seorang ABK yg membantu kami. Untungnya kami menemukan tempat nyaman hingga langsung terlelap sampai tiba di Pelabuhan Balohan.
Kapal Fery Simeulue merapat di Pelabuhan Balohan tepat pukul 4 sore. Angin cukup bersahabat hingga mempercepat perjalanan kami. Di Balohan kami dijemput Fatwa, dan langsung meluncur ke Iboih, Kilometer Nol Indonesia, yang memakan waktu 40-60 menit. Begitu menginjakan kaki di Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang, ketegangan di ferry tadi lenyap seketika.
tugu kilometer nol indonesia sabang
Ikyu dan Mba Indah di depan Lingkaran Kilometer Nol Indonesia dari semen berdiameter 50 cm di dalam bangunan tugu. Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang tingginya 22,5 meter, dicat putih bergaris oranye. Di Puncak Tugu terdapat patung Burung Garuda menggenggam angka nol, namun karena tinggi bangunan maka patungnya tidak terlihat dengan jelas.
Bangunan Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang konon menghabiskan dana sekitar 1M lebih, ckckckck… Jika saja saya boleh memilih, saya akan memilih bangunan itu dirubuhkan hingga bentuk atau letak Titik Nol-nya bisa dilihat dengan jelas dan cukup dikelilingi pohon-pohon tinggi disekitarnya. Mungkin kesan yang ditimbulkan jauuh lebih baik.
Saya mendapat Sertifikat Pengunjung No. 43814 Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang yang ditandatangani Munawar Liza Zainal selaku Walikota Sabang. Untuk mendapatkan sertifikat itu saya membayar Rp. 20.000. Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang berada di kawasan Hutan Wisata Sabang, Desa Iboih Ujong Ba’u, Kecamatan Sukakarya, sekitar 5 km dari Pantai Iboih.
tugu kilometer nol indonesia sabang
Pengumuman Penting di dekat Pintu Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang itu. Banyak orang yg terkecoh dengan letak Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang, yang menyebutkan berada di Pulau Weh, padahal yang di Pulau Weh itu adalah Tugu Kembar Sabang Merauke yang berisi informasi tentang posisi Kota Sabang.
Sayang sekali pada prasasti Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang terdapat banyak coretan tangan, padahal aturan “Dilarang coret mencoret di lokasi Tugu 0 KM Indonesia” jelas terpampang, lengkap dengan hukumannya. Herannya tidak ada yang takut atau mungkin karena minimnya pengertian tentang pentingnya tempat bersejarah ya? Entahlaah….
Jika tertarik mengunjungi Kota Sabang dan menginjakan kaki di Tugu Kilometer Nol Indonesia Sabang, ada beberapa cara menuju ke sana. PERTAMA melalui Banda Aceh. Garuda ada penerbangan 2x sehari, dan ada juga Lion dan Sriwijaya. Dari Bandara Sultan Iskandar Muda naik angkot Rp. 10.000 ke Pelabuhan Ulee Lheue, lanjut naik kapal Fery KMP Simeulue Rp. 28.500 atau Kapal Cepat Bahari Expres Rp. 68.000 per orang.
KEDUA dengan naik kapal laut. Dari Jakarta dengan KM KELUD berangkat hari Jumat ke Belawan-Medan, dari Medan ke Banda Aceh naik Bus Malam Kurnia Rp. 110.000 atau Pelangi Rp. 180.000. Dari Banda Aceh lanjut cara PERTAMA. Untuk keliling Kota Sabang bisa naik angkutan umum atau sewa mobil Rp. 350.000 atau mini bus Rp. 500.000 muat 11 orang, sudah termasuk bensin dan supir.
Penginapan di Sabang seperti Sabang Hill dengan harga kamar Rp. 250.000 s/d Rp. 750.000 / malam dan Freddie Rumah Santai Sumur Tiga (sangat dianjurkan) harga sewa hari biasa Rp. 258.000 sedang akhir pekan Rp. 308.000. Ada juga di Iboih dengan sewa Rp. 200.000. Oya, kalau di Kota Sabang tidak berlaku Hukum Syariat Islam, dan disana penduduknya sedikit lebih moderat jadi kamipun bisa menjadi diri kami sendiri

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »