Sebenarnya saya agak bingung mau posting apa. Mungkin postingan ini
kurang penting. Tapi mengingat tidak ada yang benar-benar penting dalam
blog saya, nggak papa deh.
Salah satu mimpiku di tahun 2013 ini adalah aku mampu mengunjungi minimal 21 tempat-tempat baru. Melakukan perjalanan dan petualangan-petualangan baru yang belum pernah kusentuh. Dan kini angka tersebut kian mendekat. Dan inilah waktu yang tepat, saat liburan semester tiba. Libur tlah tiba! Libur tlah tiba!
Salah satu mimpiku di tahun 2013 ini adalah aku mampu mengunjungi minimal 21 tempat-tempat baru. Melakukan perjalanan dan petualangan-petualangan baru yang belum pernah kusentuh. Dan kini angka tersebut kian mendekat. Dan inilah waktu yang tepat, saat liburan semester tiba. Libur tlah tiba! Libur tlah tiba!
Kali ini Air Terjun Tretes Wonosalam, Jombang yang menjadi tujuanku.
Bukan Tretes Pasuruan lho ya. Ternyata di Jombang ada juga tempat yang
bagus dan keren. Aku ke sana bersama teman-teman satu organisasi di
JMMI. Kami ber-14 ke sana dengan tujuh motor. Semua dipersaudarakan agar
masing-masing mempunyai tanggung jawab terhadap kondisi temannya. Saya
sendiri, dalam perjalanan ini dipersaudarakan dengan Al Mahi.
Yah, bagaimana ya? Yang namanya lingkungan mempengaruhi hidup seseorang memang. Termasuk budaya lingkungan, jam karet. Janjian jam setengan 6 pagi kumpul dan jam 6 berangkat, ternyata baru setengah 8 baru bisa berangkat. Itu pun didahului main salah-salahan siapa dan apa yang menjadi penyebab terlambat.
Yah, bagaimana ya? Yang namanya lingkungan mempengaruhi hidup seseorang memang. Termasuk budaya lingkungan, jam karet. Janjian jam setengan 6 pagi kumpul dan jam 6 berangkat, ternyata baru setengah 8 baru bisa berangkat. Itu pun didahului main salah-salahan siapa dan apa yang menjadi penyebab terlambat.
Perjalanan siap dimulai dan sahabat saya, Ahmad Mujaid Al Hafidz (karena
hafal Al Qur’an 30 juz) mulai berorasi, mengingatkan maksud perjalanan
ini adalah bukan untuk menaklukan, tetapi untuk mendekatkan diri pada
Allaah.
Pukul 10.30 kami berhenti di pertigaan Terminal Mojoagung untuk sarapan.
Gila! Perjalanan jauh kami belum sarapan. Setelah itu lanjut perjalanan
dengan melewati sawah dan pemadangan pedesaan yang mengesankan. Jalanan
khas pegunungan yang naik turun memaksa kami untuk tidak mengantuk.
Sampai-sampai Mujahid yang telah mendaki banyak gunung bilang, “Bagus
nan. Enak suasananya,”
Jangan dikira wisata ini seperti Gunung Bromo, Gunung Kelud, atau Air
Terjun Sedudo. Tidak sama. Wisata ini dibilang belum terjamah. Wisata
ini masih murni. Jalan menuju ke sana juga penuh dengan kerikil. Bahkan
tempat parkir sepeda motor pun taka da. Sehingga kami harus menitipkan
kendaraan kami di rumah paling ujung di desa Galengdowo,
Wonosoalam-Jombang.
Suasana di parkiran |
Dari tempat parkir ke air terjun pun perlu jalan kaki sejauh 3,5 km.
Tapi karena ramai-ramai, jadi ya nggak terasa. Justru di sini asyiknya.
Jalanan becek tadi sebenarnya masih bisa dilewati sepeda motor, tapi
kasihan mesinnya.
Setelah ganti pakaian di rumah warga yang kami menitipkan motor tadi,
kami berangkat jalan kaki. Jangan lupa kunci motornya ya! Kami hanya
membawa peralatan seperlunya. Jas hujan, jajan, air minum, sandal atau
sepatu, dan kamera (alat narsis).
Masya Allaah… Pemandangannya sangat asri, kawan. Pohon bambu yang
melengkung ke jalan setapak. Rumah-rumah kotak warga setempat terlihat
dari ketinggian dataran tinggi ini. Suara hewan yang entah apa namanya
diiringi suara benturan air dengan batu yang sangat alami.
Rombongan terbagi menjadi dua. Karena kunci sepeda motor Fathul tertinggal. Dia harus balik ke tempat parkir. Lumayan, Fath. Sehat kon!
Ada beberapa sungai yang kami lewati untuk menuju air terjun. Seingat
saya kalau nggak tujuh ya delapan. Kami bertemu rombongan pertama di
sungai pertama. Mereka berhenti sambil mencari kaca mata Al Mahi yang
jatuh terbawa arus saat cuci muka di sungai. Kami membantu juga.
Alhamdulillaah… Ternyata nyangkut di batu. Lanjut lagi.
Usul saya, kalau kawan mau berkunjung ke sana, bawa kamera lebih dari
satu yang semuanya sudah di-charge penuh. Dan jangan lupa bawa garam.
Karena beberapa lintah biasanya menempel di kaki. Tapi dijamin deh,
lintahnya pasti dikalahkan dengan keindahan suasana di sana.
Kami sampai di pos untuk bayar tiket masuk. Setiap kepala dihargai lima
ribu rupiah (sebelum BBM naik- kami ke sana tanggal 12 Januari 2013).
Setelah cukup puas cuci muka di daerah pos, kami melanjutkan perjalanan
kembali.
Air terjun sudah semakin dekat. Ada satu titik di mana kami dapat
melihat air terjun dari jarak kejauhan. Terlihat kecil. Dari sini dapat
aku prediksi, air terjun ini cukup tinggi. Sangat tinggi bahkan. Kami
melewati sungai yang cukup deras dan bebatuan yang cukup curam. Beberapa
dari kami sempat terpleset.
Setelah melewati sungai tadi, jalanan semakin sempit dan terjal. Eh, tiba-tiba ada seekor beruk- kata teman saya yang melihat, saya nggak tahu- jatuh dari pohon dan kemudian lari. Kakiku kok empuk ya. Ternyata ada lintah. Perlu hati-hati kalau mencabut. Agar tidak sakit dan luka tidak membekas lebar.
Finally, sampailah kami di air terjun tersebut. Perjalanan kaki
kami sekitar 1,5 jam. Karena kami sempat main-main dan bersantai ria
dulu di dekat pos Lelah jalan kaki terbayar lunas dengan melihat air
terjun secara langsung. Kasihan Sauqi. Dia yang sudah lama tinggal dan
besar di Jakarta, sepertinya belum pernah ke daerah seperti ini (saya
juga belum pernah sih). Saking senangnya, dia langsung menceburkan diri
ke danau kecil di sekitar air terjun. Lupa kalau hapenya masih ada di
saku celana. Sambil cengar- cengir, dia membongkar hapenya dan dijemur
agar cepat kering.
Kami segera ambil wudhu, menggelar jas hujan sebagai alas, dan shalat Dzuhur dan Ashar di depan air terjun. Sempat terjadi perbedaan dalam menentukan arah kiblat. Ada yang bilang menghadap air terjun. Ada yang bilang membelakangi air terjun dengan alasan rumput-rumput condong ke sana untuk mengikuti sinar matahari yang sudah melewati tengah hari. Akhirnya kami sepakat yang menghadap air terjun. Dan ternyata di akhir perjalanan kami tahu bahwa arah yang kami pilih salah. Hmmm...
Kami segera ambil wudhu, menggelar jas hujan sebagai alas, dan shalat Dzuhur dan Ashar di depan air terjun. Sempat terjadi perbedaan dalam menentukan arah kiblat. Ada yang bilang menghadap air terjun. Ada yang bilang membelakangi air terjun dengan alasan rumput-rumput condong ke sana untuk mengikuti sinar matahari yang sudah melewati tengah hari. Akhirnya kami sepakat yang menghadap air terjun. Dan ternyata di akhir perjalanan kami tahu bahwa arah yang kami pilih salah. Hmmm...
Shalat di TKP |
Usai shalat, kami tidak langsung menceburkan diri. Tapi mendengarkan
tausyiah dulu dari Mujahid. Setelah itu, cebur! Uki sepertinya menemukan
tempat untuk melampiaskan segala penat. Dia berteriak sekeras mungkin.
Agak kaget juga. Ini beneran Uki? Batinku. Mungkin Tugas Akhir yang
belum juga selesai. Reza yang tadinya ogah-ogahan dan agak jaim waktu
mau berangkat, akhirnya hamper tiada berkedip memandangi pemandangan di
sana. Hanya kami ber-14 yang di sana. Tidak ada yang lain. Wisata itu
kami miliki sepenuhnya.
Dinginnya minta ampun. Foto-foto tidak bisa dilupakan. Konon, tinggi air
terjun ini hingga 158 meter dari bawah. Dan 1250 meter di atas
permukaan air laut. Di sana, Mu’izz minta jadi fotografer tetap.
Beberapa menawarkan gentian. Dia nggak mau. Apa boleh buat.
Dari kiri belakang ke depan kiri: Fathul, Reza, Al Mahi, Fiqih, Yanu, Zaki, Alfian, Rowi, Uki, Adam, Sauqi, Saya, dan Mujahid. |
Setelah kami semua menggigil kedinginan, baru kami merapat lagi ke
daratan. Jajanan yang dibawa langsung ludes karena pada kelaparan. Kami
salah perhitungan. Harusnya yang lebih kami bawa makanan berat (nasi,
red). Karena di sini dingin. Berbeda dengan Surabaya yang panas.
Singkat cerita, kami pulang dengan perasaan yang masih ingin berlama-lama di sana. “Puas ya. Nggak kapok ke sini,” kata Yanu.
Pulangnya, kami kelelahan dan kelaparan. Untuk tidak ngantuk parah.
Warung-warung pada tutup. Hingga mungkin setelah 10 km dari tempat
parker, kami menemukan warung soto. Aku yang tidak begitu doyan Soto
Babat, terpaksa makan. Semuanya kelaparan. Kau ingin tahu kawan apa yang
kami lakukan saat masuk warung? Ah, kau selalu ingin tahu. Kami
langsung meminggirkan kursi. Duduk lesehan tak wajar, sambil menjarah
jajanan apapun yang ada di sana. Sambil menanyakan harga ini itu
(menyesuaikan isi kantong mungkin ya), kami tetap saja tak berhenti
mengunyah jajanan sambil menunggu hidangan utama tiba. Ibu yang
berdagang soto tersenyum melihat kami yang kelaparan dan dengan buas
memakan jajanan yang tersedia.
Kopi hangat disiapkan agar di perjalanan pulang tidak ngantuk. Dan
Alhamdulillaah, kami selamat sampai kampus tercinta kembali. Dengan mata
liyer-liyer kami bersyukur bahwa Allaah masih memberi kami keselamatan.
Sayang, Erwin yang ikut bersama saya untuk survei sebelum touring ini
diadakan tidak bisa bergabung karena ada rapat.
Satu tempat baru sudah kukunjungi. Sungguh, tidak pantas sebenarnya bagi
kita mengatakan bahwa kita telah menaklukkan tempat yang kita kunjungi
dengan sebuah penjelajahan sesaat. Terlalu sombong kita. Kita terlalu
kecil untuk menaklukan alam yang Dia atur. Sedang kita saat
“menaklukkan” daerah itu, bisa jadi karena kemudahan yang Dia berikan
untuk kita. Dan rasa syukur semakin dalam setelah saya tahu, 13 hari
setelah kami ke sana, ada berita bahwa dua sejoli ditemukan meninggal
karena terseret arus. Terima kasih Ya Allaah Enkau telah menyelamatkan
kami.